Siapa tak kenal Astrazeneca, vaksin anti COVID-19 buatan Universitas Oxford yang telah dikembangkan di beberapa negara seperti Korea Selatan, India dan Thailand. Astrazeneca telah disetujui BPOM pada 22 Februari 2021 dan lebih dari 73 juta dosisnya telah digunakan dalam program vaksinasi di Indonesia.
Astrazeneca diklaim memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan vaksin lainnya. Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyebut vaksin Astrazeneca ini dikhususkan untuk para lansia dengan usia di atas 60 tahun dan pada lansia yang memiliki komorbid. Astrazeneca dalam memberikan efek proteksi sangat baik pada usia di atas 60 tahun, ditambah lagi dengan orang-orang yang mempunyai komorbid, seperti orang yang gula darahnya tidak terkendali, kemudian orang yang yang tidak terkontrol tekanan darahnya, Astrazeneca sangat baik dan bisa digunakan.
Hal tersebut berbeda dengan vaksin Sinovac yang mulanya belum memiliki izin untuk digunakan terhadap lansia. Sedangkan vaksin Astrazeneca, ulang Siti, memang dari awal ditujukan untuk lansia. Vaksin Astrazeneca, sambung Siti, sangat baik dalam menangkal mutasi dari virus Corona. Penggunaan vaksin Astrazeneca dinilai efektif dalam menghadapi mutasi virus.
“Karena ini (vaksin Astrazeneca) adalah platform baru, maka menimbulkan sebenarnya efek perlindungan yang dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan vaksin-vaksin dan platform yang lama,” ucap Siti.
Sebelumnya diberitakan, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait vaksin COVID-19 Astrazeneca. MUI menyatakan vaksin Astrazeneca boleh digunakan dalam situasi darurat. BPOM juga menegaskan vaksin Astrazeneca yang diterima di Indonesia melalui COVAX facility diproduksi di Korea Selatan dengan jaminan mutu sesuai standar persyaratan global untuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
Namun, belakangan merebak kabar tak sedap terkait efek samping penggunaan vaksin Astrazeneca. Setelah tiga tahun, muncul kasak-kusuk bahwa pengguna vaksin Astrazeneca banyak yang mengalami trombositopenia, yaitu kondisi saat jumlah keping darah (trombosit) rendah atau di bawah normal. Trombosit berperan untuk menghentikan perdarahan saat terjadi luka atau kerusakan di pembuluh darah. Jumlah trombosit yang kurang dapat menyebabkan darah sulit membeku.
Jika jumlah komponen penyusun darah ini makin turun, penderita akan merasakan gejala utama berupa perdarahan, baik yang terlihat dari luar maupun perdarahan organ dalam. Perdarahan organ dalam lebih sulit dideteksi dan gejalanya bervariasi, tergantung pada organ yang mengalami perdarahan.
Perdarahan di tubuh bagian luar bisa tampak sebagai memar atau lebam. Gejala perdarahan lain yang dapat muncul akibat trombositopenia adalah mimisan, gusi berdarah, menstruasi yang lebih banyak dari biasanya, hematuria, BAB berdarah atau berwarna hitam, muntah darah atau berwarna seperti kopi.
Faktanya, Astrazeneca menarik vaksin COVID-19 buatannya yang telah beredar dan dijual di seluruh dunia. Sebelumnya, Pengadilan Inggris menyidangkan tuntutan terhadap raksasa farmasi asal Swedia itu karena vaksin untuk melawan virus corona menyebabkan kematian dan cedera serius, termasuk TTS–Sindrom Trombosis dengan Trombositopenia.
Namun, perusahaan itu menegaskan bahwa penarikan itu, tidak terkait dengan kasus hukum yang menjerat mereka di Pengadilan Inggris. Astrazeneca seperti dikutip kantor berita Sputnik, Selasa, 14 Mei 2024, menyatakan bahwa penarikan dilakukan karena alasan komersial, dan menambahkan bahwa terdapat banyak vaksin di pasaran yang ditujukan untuk melawan jenis baru COVID-19. Pada saat yang sama, mereka bersikeras bahwa keputusan penarikan vaksin tersebut tidak terkait dengan kasus pengadilan baru-baru ini mengenai efek samping vaksin.
Pada April lalu, muncul laporan bahwa Astrazeneca untuk pertama kalinya mengakui dalam dokumen hukum, yang diserahkan ke pengadilan Inggris pada Februari, bahwa vaksin COVID-19 buatannya bisa memicu efek samping yang jarang terjadi. Efek samping yang dimaksud adalah trombosis dengan sindrom trombositopenia (TTS), yang menyebabkan pembekuan darah dan rendahnya jumlah trombosit darah.
Astrazeneca sebelumnya mengakui adanya efek samping yang jarang terjadi dalam vaksin COVID-19 miliknya. Pengakuan ini tercantum dalam dokumen pengadilan sehingga membuka jalan bagi pembayaran hukum senilai jutaan pound. Vaksin Astrazeneca digugat karena menyebabkan kematian dan cedera serius, termasuk TTS–Sindrom Trombosis dengan Trombositopenia. Sindrom ini menyebabkan orang mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah rendah.
Dalam dokumen hukum yang diserahkan ke Pengadilan Tinggi Inggris pada Februari lalu, raksasa farmasi tersebut mengaku bahwa vaksin COVID-19 buatannya dapat menyebabkan TTS. Namun kasus tersebut sangat jarang terjadi.
BPOM pastikan tak lagi beredar di Indonesia
BPOM dalam keterangan resminya yang dikeluarkan pada 5 Mei 2024 juga telah mengumumkan bahwa vaksin COVID-19 Astrazeneca telah resmi ditarik dari peredaran di Indonesia. Langkah ini diambil setelah serangkaian pengawasan dan penelusuran yang dilakukan oleh badan tersebut. Keputusan itu datang setelah adanya pemberitaan tentang efek langka dari vaksin Astrazeneca yaitu trombositopenia atau TTS.
Indonesia sebagai salah satu negara yang menggunakan vaksin COVID-19 Astrazeneca terkejut dengan kabar itu. Meskipun demikian, tidak ada laporan kasus terkait TTS yang terjadi setelah pemberian vaksin Astrazeneca di Indonesia. Hal ini didasarkan pada evaluasi bersama antara BPOM, Kementerian Kesehatan, dan Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI).
Namun, banyak pengguna sosial media yang mengalihkan mengeluhkan efek samping dari vaksin astrazeneca yang baru muncul akhir-akhir ini seperti sakit kepala, mudah lelah, sesak napas, kebas, dan tak bertenaga, dan mereka hanya bisa berdoa agar gejala itu tidak semakin memburuk.