BIZLAW.ID – Pemerintah telah menetapkan aturan Nomor 21 tahun 2021 terkait program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diberikan ke pekerja swasta. Tapi hal ini memang dinilai memberatkan, sehingga Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menolak dengan tegas aturan yang diberikan.
Sumber hukum Tapera ini awalnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2020 terkiat diadakan Tabungan Perumahan Rakyat yang diubah menjadi PP Nomor 21 Tahun 2024.Yang mana menjadi penyimpanan yang dilakukan oleh peserta yang dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu dan hanya dimanfaatkan guna untuk pembiayaan perumahan.
Berdasarkan Pasal 68 PP Nomor 25 tahun 2020 terdapat keterangan kalau pemberi kerja wajib untuk mendaftarkan pekerjaanya kepada Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP tersebut. Pemberi kerja diberikan waktu sampai 20 Mei 2027.
Dalam Pasal 20 pemberi kerja ini wajib hukumnya untuk menyetorkan tabungan peserta setiap bulan dan paling lambat setiap tanggal 10 per bulan. Adapun untuk peserta mandiri wajib untuk memberikan tabungan paling lambat pada tanggal yang sama.
Kalau tanggal 10 itu bertepatan hari libur, maka pembayaran bisa dilakukan pada hari kerja atau setelah hari libur. Aturan ini akan diberlakukan pada pemberi kerja atau pekerja mandiri.
Menurut Shinta W Kamdani selaku piha Apindo, program Tapera yang nantinya akan dilakukan tidak mensejahterahkan para karyawan swasta, tapi hanya menambah beban iuran dari pelaku usaha dan pekerja atau para buruh. Apindo hanya ingin Pemerintah mempertimbangkan mengenai peraturan yang dinilai merugikan.
“Perkara ini sungguh bisa menjadi beban pekerja yang mencapai sekitar 2,5% dan dirasakan juga untuk pemberi kerja sekitar 0,5% dari gaji yang harus dikeluarkan. Tapi, kan seharusnya bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari BPJS,”ucap Shinta dilansir dari GOLKAR 2029 pada Rabu, 29 Mei 2024.
Aturan Tapra ini bukan hanya memberatkan pekerja, melainkan juga pemberi kerja juga. Bebam pungutan sungguh gak kira – kira sekitar 18,24-19,74% dari penghasilan pekerja. Beban yang diberikan Tapera ini gak bakal bikin rakyat makmur dengan adanya depresiasi rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Seharusnya Pemerintah itu harus optimalkan penggunaan dana dari BPJS karena sesuai dengan PP No.55/2015 terkait pengelolaan aset jaminan sosial ketenagakerjan. Sesuai PP yang dimaksud berarti maksimal 30% atau sekitar Rp 138 triliun. Hal ini membuat aset Jaminan Hari Tua (JHT) bisa sekitar Rp 460 triliun untuk digunakan pada program MLT (Manfaat Layanan Tambahan).
MLT memiliki ketersediaan yang sangat besar dan sangat sedikit sekali untuk pemanfataannya untuk banyak pekerja. Sedangkan, untuk mendapatkan fasilitas perumahan maka penggunaan MLT ini bisa sangat terbantuk karena berasal dari program JHT yang bisa digunakan untuk pinjaman KPR sekitar maksimal Rp 500 juta, pinjaman uang muka perumahan (PUMO) hingga sekitar Rp 150 juta.
Ada juga pinjaman renovasi perumahan (PRP) yang mencapai sekitar Rp 200 juta dan fasilitas pembiayaan perumahan pekerja/kredit konstruksi (FPPP/KK). BPJS Ketenagakerjaan sekarang sudah bekerjasama dengan perbankan, sehingga hal ini akan membantu rakyat pendapatan rendah.
Apindo sekarang telah berkoordinasi dengan berbagai pihak dari BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang berguna untuk mempercepat perluasan program MTL ke seluruh pelosok dan bisa digunakan untk seluruh rakyat Indonesia untuk perumahan yang ditinggalin pekerja.
Hal ini yang membuat Apindo ingin terus melakukan program MLT BPJS Ketenagakerjaan sehingga bisa dirasakan secara merata dan pekerja tidak perlu menggunakan Tapera seperti yang diatur oleh Pemerintah.
“Hal ini membuat Apindo terus mendorong adanya penambahan manfaat untuk program MLT BPJS ketenagaan, sehingga pekerja swasta ini sudah tidak perlu lagi menggunakan program Tapera dan diberikan untuk ASN, TNI/Polri,” ujar pihak Apindo.