Bizlaw.id – Ada kabar mengejutkan dari salah satu pabrik sepatu Bata yang berlokasi di daerah Purwakarta, Jawa Barat.
PT Sepatu Bata Tbk (BATA) dikabarkan telah menyetop produksi usahanya lantaran sepi pembeli.Tentunya hal ini sangat merugikan masyarakat yang suka dengan produk dari Bata.
Apalagi perusahaan Bata ini telah melakukan PHK terhadap para buruhnya yang membuat mereka tidak memiliki pekerjaan.
Penyebab dari mundurnya pabrik Bata ini bukan tanpa sebab, sehingga bermunculan problematika yang membuat pabrik sepatu Bata ini tutup.
Kebetulan banget nih kami akan membahas dan menjelaskan terkait alasan yang menyebabkan pabrik Sepatu Bata ini akhirnya tutup.
Terjadinya Penurunan Permintaan
Terjadinya penyusutan permintaan terkait sepatu Bata inilah yang menjadi faktor penyebab pabrik sepatu Bata di Purwakarta memilih tutup.
Bahkan pabrik sepatu Bata di Purwakarta ini mengalami kerugian hampir selama 4 tahun terakhir.
Banyak masyarakat yang beralih ke jenis atau model sepatu yang lebih baru dan kekinian yang tentunya memiliki harga yang jauh lebih murah.Di samping itu, sepatu model lain memiliki kualitas yang lebih baik dan bagus.
Adanya 3 Disrupsi yang Mengakibatkan Bata Mengalami Babak Belur
Penyebab yang paling umum adalah karena perusahaan Bata mengalami 3 disrupsi.
Yuswohady selaku Pengamat Pemasaran dari Inventure menjelaskan jika PT Sepatu Bata mengalami babak belur karena dihajar 3 disrupsi dalam waktu yang hampir bersamaan.
Ketiga disrupsi ini diantaranya adalah disrupsi digital, disrupsi milenial, dan disrupsi pandemi covid-19.
Ketiga disrupsi inilah yang mengakibatkan merek sepatu dari pabrik legendaris yang berlokasi di Purwakarta tumbang dan terpaksa mengeluarkan karyawannya.
Menurut Yuswohady, terdapat penyebab dari masalah ini yang sifatnya short term, medium term, dan long term.
Jika short term penyebabnya yaitu dikarenakan adanya dampak langsung ketika terjadinya pandemi Covid-19 dimana saat itu orang-orang tidak bisa bebas keluar rumah karena mudahnya virus Covid-19 menyerang tubuh orang-orang.
Pandemi Covid-19 tidak hanya menyerang kesehatan saja namun ikut menyerang industri juga sehingga banyak industri yang terpaksa gulung tikar karena masalah tersebut di kala itu.
Bahkan saat itu sebagian besar toko sepatu Bata ini masih mengandalkan pemasaran offline misalnya dari toko-toko bata yang berada di second cities atau yang berlokasi di kabupaten atau kota masing-masing.
Karena segmen pemasaran dari sepatu Bata ini adalah untuk kalangan menengah dan bawah sehingga ketika terjadi pandemi Covid-19 maka diketahui banyak toko yang mengalami sepi pembeli dan minat terhadap jenis sepatu ini semakin berkurang.
Bahkan permintaan dari produk sepatu ini mengalami penurunan yang sangat signifikan, dan omset dari penjualan produk ini juga menjadi semakin turun.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan pabrik Bata Purwakarta dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sejak 2020 terjadi penyusutan atau penurunan yang signifikan.
Kemudian pada kondisi medium term, Yuswohady menjelaskan jika PT Sepatu Bata mengalami kendala ketika merespons adanya gelombang disrupsi digital yang terjadi.
Tidak Adanya Proses Digitalisasi
Menurut Yuswohady, dari sebelum pandemi menyerang, perusahaan Bata di Purwakarta dianggap lamban dalam mengikuti perkembangan zaman bahkan pabrik sepatu Bata di Purwakarta dianggap terlambat melakukan digitalisasi dalam proses pengoperasian yang dilakukan.
Sedangkan pada waktu itu, sudah banyak pemain Usaha Kecil Menengah yang bermunculan dan hadir dalam memanfaatkan teknologi digital untuk membangun daya saing, misalnya seperti brand lokal Compass, Brodo, Aerostreet, dan lain sebagainya.
Apalagi brand yang legendaris ini sudah kalah telak dengan pesaing terberatnya misalnya seperti Nike dan Adidas.
Menurut Yuswohady, pemain baru di pasar tanah air tersebut telah berhasil memanfaatkan channel digital, pemanfaatan komunitas digital dengan baik, bahkan menciptakan adanya tren ketakutan kehilangan momen atau fear of missing out (FOMO), sampai menciptakan adanya sesuatu yang tengah viral di masyarakat Indonesia sehingga pemain baru ini dapat bersaing dan mencuri pangsa pasar di tanah air.
Pemain lawas seperti sepatu Bata pun akhirnya tergeser dan harus rela digantikan posisinya karena tidak dapat mengandalkan keberadaan toko fisik yang telah berdiri.
Menurut Yuswohady, Perusahaan Bata seharusnya lebih agresif lagi dalam melakukan digitalisasi dengan memanfaatkan channel-channel digital, misalnya seperti platform marketplace yang saat ini sedang trend dan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Yuswohady juga menuturkan jika bukannya perusahaan Bata tidak melakukan dengan baik, namun perusahaan ini telah menjalankan strategi dengan benar, tetapi effort yang diberikan oleh perusahaan Bata ini kurang maksimal.
Yuswohady menganggap jika mindset yang ada pada perusahaan Bata ini masih lambat, cara pengelolaan di perusahaan Bata yang dianggap masih lama juga dianggap menjadi pemicu pabrik Bata di Purwakarta tidak mampu bertahan di tengah persaingan.
Bata Mengalami Penuaan Merek
Kemudian disrupsi yang dikenal paling fundamental, Yuswohady menjelaskan jika Bata mengalami suatu penuaan merek yang terjadi sejak tahun 1990-an hingga saat ini.
Yuswohady juga menyebut jika merek Bata telah mengalami penuaan secara sistematis karena perusahaan ini dinilai kurang lincah dalam merespons adanya perubahan yang terjadi.
Perusahaan Bata sebagai brand global telah mengalami brand localization ataupun yang dikenal sebagai jatuh dipersepsi sebagai merek lokal. Padahal, perusahaan ini dikenal sebagai brand sepatu yang berasal dari Cekoslowakia.
Kualitas dan Branding Bata Telah Mengalami Dipersepsi
Dari segi kualitas dan branding yang dimiliki oleh Bata, lanjutnya lagi, Bata telah mengalami dipersepsi yang dianggapnya tidak begitu tinggi dan sangat ketinggalan zaman.
Padahal dulunya merk Bata digandrungi banyak orang namun sekarang ini banyak orang yang memilih produk lain yang memiliki kualitas lebih baik.Bahkan branding dari Bata telah mengalami penuaan dan dipersepsi.
Adanya Generasi Baru Membuat Bata Kalah Saing
Yuswohady menjelaskan, jika titik balik penurunan brand Bata ini seiring dengan adanya kelahiran dari generasi milenial hingga Gen Z.
Dimana generasi milenial dan gen z ini memiliki preferensi gaya model berpakaian yang berbeda dengan boomers dengan generasi X.
Yuswohady menambahkan bahwa generasi milenial ini menganggap jika Bata adalah brand yang kolonial yang telah mengalami penuaan.
Kenapa Generasi Milenial menjadi Jauh Lebih Penting?
Untuk era modern seperti sekarang ini, Yuswohady menganggap jika segmen pelanggan di Indonesia yang daya beli besar dan semakin tinggi itu yaitu pada generasi milenial.
Yuswohady juga mengatakan jika generasi X telah mulai pensiun, usia generasi X saat ini diperkirakan di atas 45-60 tahun, sementara untuk generasi boomers memasuki usia 70 tahun.
“Jadi saya sebut, ada triple disruption yang menyebabkan Bata 4 tahun terakhir ini merugi,” terang Yuswohady pada Kamis (9 Mei 2024).
Yuswohady mengatakan jika Bata seperti terlena dengan keadaan core customer yang ada pada generasi Boomers dan Gen X.
Menurut penuturannya juga, pada generasi baru yang menguasai pasar untuk sekarang ini berganti, dimana perusahaan Bata tidak dapat meregenerasi pelanggan.
Demikian yang bisa kami sampaikan terkait perusahaan Bata yang mengalami penurunan drastis.