Organisasi Kongres Uyghur Dunia melaporkan, sejumlah Muslim di China dilarang berpuasa oleh pemerintah setempat dan terancam ditangkap jika ketahuan. Juru bicara Kongres Uyghur Dunia, Dilshat Rishit, mengungkap, warga Muslim di barat laut Xinjiang dalam pantauan ketat agar mereka tidak berpuasa.

Menurut Rishit, warga Muslim diperintahkan untuk tidak mengizinkan anak-anak berpuasa. Pihak berwenang juga menginterogasi anak-anak untuk mengetahui orangtua mereka berpuasa atau tidak.

"Selama Ramadan, pihak berwenang mewajibkan 1.811 warga (di Xinjiang) untuk menerapkan sistem pemantauan sepanjang waktu, termasuk inspeksi rumah terhadap keluarga Uyghur," kata Rishit, seperti dikutip Radio Free Asia pekan lalu.

Seorang pejabat di biro pendidikan daerah Xinyuan, Xinjiang, juga mengungkapkan bahwa para karyawan di bidang pendidikan serta orang dewasa yang bekerja untuk pemerintah dilarang berpuasa selama bulan suci Ramadhan.

"Siswa tidak diizinkan berpuasa dan anggota keluarga yang merupakan pegawai negeri juga tidak diizinkan," kata pejabat tersebut.

Seorang Muslim Kazakh yang mengaku bernama Kamina bahkan mengatakan orang Islam di wilayahnya bakal ditangkap jika ketahuan menjalankan ibadah puasa.

"Beberapa orang secara sukarela tak menjalankan puasa karena takut, sementara yang lain berpuasa secara diam-diam," kata Kamina.

Kamina melanjutkan, "Beberapa tempat mengizinkan puasa, tapi kemudian mereka memantau orang-orang tersebut dan menyebut mereka fanatik agama, lalu mereka (yang berpuasa) ditahan."

Selama beberapa tahun terakhir, China memang melancarkan serangan terhadap umat-umat beragama, mulai dari Kristen, Buddha, hingga Muslim. Di bawah pemerintahan Xi Jinping, China memaksa warga beragama untuk tunduk pada partai, menurut laporan koalisi kelompok hak asasi manusia (HAM) Tiongkok.

Menurut kelompok HAM itu, Beijing utamanya memandang umat Muslim sebagai, "Ancaman yang harus diselesaikan melalui asimilasi paksa."

Di bawah kampanye "penyatuan etnis" yang menargetkan komunitas Muslim, para Uighur bahkan diminta patuh terhadap tradisi non-Islam, salah satunya dengan meminta mereka minum alkohol dan makan daging babi.

Setidaknya 1,8 juta warga Uyghur dan etnis minoritas Muslim lainnya ditahan imbas kampanye penyatuan tersebut. Mereka ditempatkan di kamp-kamp "pendidikan ulang" dan dipaksa bekerja. Bukan hanya itu, perempuan minoritas bahkan dilaporkan mengalami perkosaan, pelecehan seksual, dan sterilisasi paksa di kamp-kamp tersebut.

"(Selain warga Uyghur), orang Hui juga dipaksa tunduk pada pembatasan yang bertujuan menghilangkan 'tanda-tanda ekstremisme' dan pengawasan yang mengganggu kehidupan publik dan pribadi," demikian kutipan laporan tersebut.