Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) menggelar survei opini publik mengenai sisa polarisasi politik tahun 2019 yang masih ada jelang Pemilu 2024 saat ini.

Menurut Ketua Laboratorium Psikologi Politik UI Hamdi Muluk, bahwa hasil survei ini menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok, yakni kluster 1 yang pro pemerintah dan kluster 2 yang tidak berpihak pada pemerintah atau anti terhadap asing dan "aseng".

"Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat terpolarisasi menjadi 2 kelompok dengan ukuran proporsional, yakni kluster 1 sebesar 57 persen versus kluster 2 sebesar 43 persen," ujar Hamdi saat pemaparan rilis survei nasional Laboratorium Psikologi Politik Present Universitas Indonesia (UI) terkait “Polarisasi Politik di Indonesia: Mitos atau Fakta” di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu 19 Maret 2023.

Secara rinci, kata Hamdi, kluster 1 merupakan kelompok pro Jokowi yang relatif sekuler ke arah moderat, puas terhadap kinerja pemerintah, relatif tidak berprasangka terhadap kekuatan ekonomi asing dan "aseng".

Sementara, kluster 2 memiliki merupakan kelompok dalam ideologi politik dimensi keagamaan. Di mana, mereka meyakini pemimpin harus seiman atau seagama, kebijakan publik berlandaskan agama, hingga sanksi punitif terhadap penista agama, perda syariah mendapat endorsement yang tinggi.

"Klaster dua ini juga lebih percaya pada teori konspiratif bahwa pemerintah adalah konspirasi dari kekuatan asing dan "aseng". Kluster ini menyatakan ketidakpuasan terhadap kebijakan dan hasil yang dicapai pemerintah," ungkap Hamdi.

Hamdi menerangkan, survei ini juga menemukan ada indikasi implikasi dari pengkutuban ini pada konsekuensi afeksi (perasaan). Di mana, terlihat kedua kluster ini cenderung mengembangkan emosi negatif kepada kelompok di luar kelompok yang tidak sealiran dalam konteks dukungan selama Pilpres 2019.

Namun Hamdi menambahkan bahwa survei yang dilakukan ini, tidak menemukan implikasi negatif dari pengkutuban ini dalam perilaku sosial yang berkekerasan, dan atau perilaku segregasi sosial yang yang lebih serius.

"Implikasi lebih kearah sentimen negatif (afeksi). Namun tentu kehati-hatian tetap diperlukan supaya implikasi tidak berkembang kearah yang lebih serius," jelasnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, bahwa isu polarisasi itu merupakan fakta yang terjadi. Pasalnya polarisasi bukan hal baru dalam dunia politik Indonesia.

"Contohnya di 2019, isu polarisasi sangat gencar terjadi. Terutama saat Pilpres 2019 dimana munculnya eco chamber di media sosial yang membuat polarisasi makin tambah parah," tegas Qodari.

Qodari mengungkapkan, pada periode 2019, isu polarisasi sendiri malah digaungkan oleh tokoh-tokoh politik yang notabennya menjadi pegangan masyarakat. Mereka, lanjutnya, tak sungkan untuk menghembuskan isu polarisasi hingga perpecahan demi syahwat politiknya terpenuhi.

"Pembelahan dan perpecahan ini sangat membahayakan karena polarisasi itu terus mengalami penguatan tren dari 2014 dan sangat terasa di 2019. Tokoh-tokoh identitas juga makin berani dan terbuka dalam melakukan aksi politik mereka," bebernya.

Lebih lanjut, Qodari mengungkapkan, kondisi Indonesia yang sudah terpecah belah akan makin parah jika polarisasi terus dibiarkan. Karenanya, dia meminta tokoh politik melakukan inisiatif yang besar agar bangsa Indonesia bisa keluar dari skenario dan polarisasi yang sudah terjadi selama ini.

"Jadi saya minta para tokoh-tokoh ini mampu tekan syahwat politik mereka demi kepentingan bangsa. Karena sayang sekali Indonesia yang merupakan negara besar harus rusak karena terpolarisasi oleh segelintir orang," paparnya.

Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengaku terkejut dengan temuan itu karena 43 persen isu soal investasi asing sering diributkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengganggu iklim investasi di Indonesia.

“Dari hasil temuan itu menunjukan itu bukan mitos tapi fakta 43 persen yang membuat saya kaget adalah dalam temuan survei ini juga ada isu asing dan aseng, itu kaitannya dengan kemungkinan investasi,” kata Bahlil.

Bahlil menjelaskan, polarisasi yang sering dibangun oleh pihak-pihak tertentu akan berdampak bagi politik Indonesia di tahun 2024, meski polarisasi tersebut tidak berpengaruh terhadap investasi-investasi di Indonesia. Namun, sebagai pemerintah sudah tentu berharap jelang tahun politik ini tidak ada lagi polarisasi yang bisa memecah belah masyarakat.

“Tadi saya katakan bahwa polarisasi ini akan memberikan dampak pada stabilitas politik, saya menyarankan bahwa Pemilu diagendakan 2024 dan karena itu stabilitas politik sebagai syarat mutlak untuk bagaimana pertumbuhan investasi kita bisa tercapai,” kata Bahlil.

Buat putra asal Papua Barat ini, perbedaan yang ada di Indonesia adalah hal lumrah, karena Islam sendiri mengiyakan perbedaan itu, tetapi perbedaan untuk menyatukan dan bukan memecah. 

“Tadi juga saya sudah sampaikan jika perbedaan itu Rahmat dalam Islam, saya kebetulan dari Papua itu khususnya di kampung saya di Fak-Fak itu dalam satu keluarga itu ada Katolik, Protestan dan ada Islam dan itu biasa-biasa saja, bahkan rumah saya di Fak-Fak itu berbelahan dengan gereja,” jelasnya.

Karenanya, Bahlil meminta agar perbedaan yang ada di Indonesia harus dihargai oleh setiap warga negara dan tidak harus mengolok-olok satu dengan yang lain. Pasalnya, perbedaan tidak hanya pada agama dan politik tetapi konteks ekonomi juga. Oleh sebab itu, sinergitas antar anak bangsa perlu dijaga untuk kebaikan ekonomi bangsa ke depan.

“Perbedaan ini harus kita hargai karena sudah ada sejak kita lahir tapi bagaimana memanej, tidak perlu kita mengolok satu sama lain. Perbedaan itu bukan hanya dalam konteks agama tapi juga konteks ekonomi, Islam memang mayoritas tapi ekonominya tak sebaik saudara-saudara kita yang ada di agama atau etnis lain, hingga perlu ada sinergitas yang baik dan produktif pada kemajuan bangsa,” ulasnya.

Untuk diketahui, survei opini publik Laboratorium Psikologi Politik UI soal sisa polarisasi Pilpres 2019 ini digelar pada periode 6 Februari hingga 28 Februari 2023

Pada survei ini, teknik analisis yang digunakan seperti item-response theory (IRT), principal component (PCA), dan latent classification analysis (clustering) dengan metode mengukur Sigma Distance. Total responden sebesar 1.190 WNI berusia 17 tahun ke atas yang berasal dari 33 provinsi.