Arab Saudi dan Iran sepakat untuk memulihkan hubungan usai melakukan pembicaraan yang dimed ziasi oleh China. Riyadh da n Teheran j tv uga sepakat untuk membuka kembali misi diplomatik masing-masing sekitar tujuh tahun setelah hubungan terputus.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (11/3), Riyadh memutuskan hubungan dengan Teheran setelah para pendemo Iran menyerang misi diplomatik Saudi di Teheran tahun 2016 lalu, setelah otoritas Saudi mengeksekusi mati ulama Syiah Nimr al-Nimr.
"Setelah pembicaraan, Republik Islam Iran dan Kerajaan Arab Saudi telah sepakat untuk melanjutkan hubungan diplomatik dan membuka kembali kedutaan dan misi dalam waktu dua bulan," demikian bunyi pernyataan gabungan Saudi-Iran seperti dipublikasikan kantor berita IRNA pada Jumat (10/03) waktu setempat.
Pembicaraan Riyadh dan Teheran itu dimediasi dan digelar di China. Laporan kantor berita IRNA menyebut Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran, Ali Shamkhani, melakukan perjalanan ke Beijing pada Senin (6/3) waktu setempat untuk melakukan 'negosiasi intensif dengan mitra Saudinya di China untuk akhirnya menyelesaikan masalah antara Teheran dan Riyadh'.
Saudi yang mayoritas Sunni dan Iran yang mayoritas Syiah selalu mendukung pihak berbeda dalam sejumlah konflik di kawasan Timur Tengah. Salah satunya konflik di Yaman, di mana pemberontak Houthi didukung oleh Teheran dan pemerintah Yaman didukung oleh koalisi militer pimpinan Riyadh.
Irak, yang merupakan negara tetangga dari keduanya, telah menjadi lokasi rentetan pembicaraan antara Saudi dan Iran sejak April 2021. Pembicaraan itu dilakukan pada level relatif rendah, dengan melibatkan para pejabat keamanan dan intelijen kedua negara.
Dalam pernyataan gabungan yang dirilis pada Jumat (10/3), Saudi dan Iran mengucapkan terima kasih kepada Irak dan Oman, juga China atas bantuan dan dukungan dalam pembicaraan membahas pemulihan hubungan kedua negara.
"Berterima kasih kepada Republik Irak, Kesultanan Oman karena menjadi tuan rumah untuk pembicaraan yang digelar kedua pihak tahun 2021 dan 2022, juga para pemimpin dan pemerintah Republik Rakyat China untuk menjadi tuan rumah dan mendukung pembicaraan yang digelar di negara itu," demikian bunyi pernyataan gabungan itu.
Tamparan Bagi Pemerintahan Joe Biden
Beberapa analis mengatakan perdamaian yang diinisiasi China ini merupakan bukti makin kuatnya Negara Tirai Bambu itu di arena politik global, mengalahkan rivalnya, Amerika Serikat (AS).
Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China, termasuk pembukaan kembali kedutaan setelah enam tahun, adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.
"Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun," kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.
Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.
"Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?," terangnya.
Kegagalan Netanyahu
Lantas bagaimana dengan reaksi Israel? Sejumlah politikus dari partai oposisi di negara Zionis itu mengecam Perdana Menteri Benyamin Netanyahu. Mereka menyebut perdamaian Arab Saudi dan Iran merupakan simbol kegagalan Netanyahu.
Mereka menganggap Netanyahu gagal karena Saudi malah lebih dulu berdamai dengan Iran yang dikenal sebagai musuh bebuyutan mereka di kawasan.
Sejumlah politikus mengutarakan kekecewaannya karena selama ini, Israel juga mengupayakan normalisasi hubungan dengan Saudi melalui sistem kesepakatan yang dibantu Amerika Serikat, Abraham Accords.
"Ini merupakan kegagalan kebijakan luar negeri pemerintahan Israel yang berbahaya. Ini merupakan keruntuhan tembok pertahanan kawasan yang kita bangun untuk melawan Iran," kata pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, seperti dikutip AFP.
Para oposisi pun menganggap Netanyahu lebih mementingkan program reformasi sistem peradilan yang jelas-jelas ditentang warga daripada kebijakan luar negeri Israel.
"Ini lah yang terjadi ketika Anda setiap hari sibuk dengan proyek peradilan gila ketimbang mengurus Iran," ucap Lapid.
Anggota parlemen lainnya dari kubu oposisi, Gideon Saar, juga mengolok-olok kegagalan Netanyahu dalam menangkal kemenangan Iran di kawasan.
"Netanyahu menjanjikan perdamaian dengan Arab Saudi. Pada akhirnya, mereka (Saudi) melakukannya dengan Iran," tutur Saar.
Meski rekonsiliasi Iran dan Saudi mencoreng reputasi Netanyahu, sejumlah pakar ragu kesepakatan itu benar-benar dapat merugikan Israel.
Seorang pakar politik Saudi dari Universitas Birmingham, Umar Karim, mengatakan Saudi dan Iran akan tetap menjadi rival di kawasan meski mereka sepakat rujuk.
Sementara itu, Saudi masih dapat menjalin hubungan mendalam bersama Israel sembari menjaga relasi transaksional dengan Iran.
"Pembicaraan bawah tanah antara Saudi dan Israel akan berlanjut. Kepemimpinan Saudi akan menerapkan lebih dari satu cara untuk mempertahankan keamanan nasionalnya," ucap Karim.